Oleh: Didiet Adiputro, Ilmu Politik Universitas Nasional 2005
“Bangsa Indonesia sedang krisis identitas. Pluralisme yang menjadi alasan berdirinya NKRI terancam”, ujar Gus Dur dalam acara Orasi Akhir Tahun Gus Dur, di Hotel Santika, Minggu, 28 Desember 2008. Dalam menganalisa kondisi di akhir tahun ini, Abdurrahman Wahid yang mantan Presiden Ri ke 4, memulai dengan membawa kita melihat sejarah ke belakang, tentang bagaimana sesungguhnya bangsa kita sejak zaman dahulu sudah sangat menghargai pluralisme dan toleransi antar umat beragama. Jadi Gus Dur meyakini bahwa sikap pluralisme dan mau menerima perbedaan adalah ciri khas bangsa kita, bukan impor dari negara lain. Hadir sebagai panelis dalam diskusi kali ini antara lain Romo Magnis Suseno, Bondan Gunawan, Wimar Witoelar dan Effendi Ghazali.
Tahun 2008 yang berarti sudah sekitar 10 tahun reformasi ternyata masih menyisakan banyak masalah yang belum tuntas. Romo Magnis menilai bahwa situasi ekonomi kita belum banyak berubah, sehingga pemberantasan kemiskinan adalah masalah utama yang harus diselesaikan oleh pemimpin kita.
Sementara Wimar melihat ada dua isu penting di tahun 2008 yang paling menggemparkan. Yaitu krisis kapitalisme dunia dan masalah demokrasi. Kalau masyarakat Amerika mempermasalahkan krisis kapitalisme, masyarakat Indonesia justru sedang hangat memperbincangkan demokrasi. Karena sampai saat ini masih banyak yang mencibir bahwa sistem demokrasi belum bisa membawa kesejahteraan bagi kita. WW menganalogikan demokrasi di Indonesia seperti pompa air yang sudah lama tak dipakai. Karena lama tak dipakai maka ketika baru dipakai lagi pompa tersebut belum bisa mengeluarkan air bersih, melainkan masih mengeluarkan lumpur, tanah, dsb. Akan tetapi kalau terus dicoba maka lama kelamaan akan keluar juga air bersihnya.
Jadi demokrasi tetap diyakini sebagai sistem yang terbaik, meskipun belum bisa membawa kesejahteraan, yang penting prosesnya sudah baik. Karena faktanya, bahwa 10 negara termakmur di dunia adalah negara penganut demokrasi, sementara 10 negara termiskin justru penganut otokrasi, militerisktik atau sistem lainnya.
Menuju Demokrasi Modern
Pengamat komunikasi Effendi Ghazali merasa gembira karena di akhir tahun 2008 ada sebuah kecelakaan-kecelakaan sejarah yang justru akan membuat kita makin matang dalam berdemokrasi. Misalnya keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyetujui suara terbanyak bagi Caleg. Sehingga figur seseorang kandidat menjadi lebih penting dari pada partai.
Wimar juga mengajak kita untuk mengaitkan isu politik tertentu dengan seseorang kandidat. “Orang akan didukung jika dia dikaitkan dengan isu-isu tertentu, seperti Obama di AS yang memiliki sikap tentang isu Irak, pajak untuk orang miskin,dll. Sehingga orang memilih dia bukan karena partai, agama, warna kulit, atau gender, tapi karena sikap seseorang terhadap isu”, ujar mantan juru bicara kepresidenan era Gus Dur ini.
Hal ini sangat menarik jika kita berkaca pada komposisi pemain politik di pentas demokrasi kita yang jumlahnya banyak tapi terlihat miskin ide. kebanyakan dari mereka termasuk partai politik, hanya mengusung isu-isu yang sangat general dan tidak fokus, seperti kesejahteraan rakyat, anti korupsi, pendidikan gratis, dll. Bahkan tidak sedikit juga dari para calon wakil rakyat atau elit-elit partai yang mengusung selogan-selogan kosong yang terlihat populis tapi tidak rasional seperti nasionalisasi perusahaan asing, teori konspirasi, dan anti asing. Apakah anda bisa membedakan platform dan isu yang diusung antara partai beraliran nasionalis, sekuler ataupun agama? Saya kira sangat sulit.
Dalam politik modern positioning terhadap sebuah isu atau ideologi dan aliran menjadi sangat penting, terutama dari perspektif sang pemilih. Karena jika sebuah partai atau calon telah menetapkan positioningnya maka publik pun akan dengan cepat melihat difrensiasi antara calon tersebut dengan calon lainnya yang akan memudahkan para pemilih menentukan pilihannya. Misalnya di Amerika antara partai Demokrat dan Republik yang sangat berbeda dalam bidang HAM misalnya, atau yang terbaru antara McCain dan Obama tentang isu Irak. Dalam sikapnya Obama memilih untuk menarik mundur tentara AS di Irak untuk lebih memberdayakan pihak keamanan Irak dan mengurangi prakiraan jumlah korban tentara AS. Sementara McCain bersikap sebaliknya, dengan tetap bersikeras untuk melanjutkan pendudukan tentara AS di sana. Jadi, publik bisa dengan mudah menentukan pilihan bukan?
Dalam menganalisa positioning capres di Indonesia, saya kira itu merupakan sebuah hal yang tak mudah. Bagaimana bisa membedakan antara Prabowo, Wiranto, Megawati dan Sri Sultan? Secara general mungkin susah menjawabnya, mungkin kecuali Megawati yang sudah pernah menjabat presiden. Urusan platform hampir tidak berbeda. Menurut saya salah seorang Capres yang memiliki positioning sedikit berbeda adalah Rizal Mallarangeng, yang dengan sangat berani mengusung ide-ide liberalisasi. Tapi sayang dia mundur di tengah jalan karena elektibilitasnya masih jauh dari cukup untuk bersaing dengan Presiden SBY, dan Presiden Megawati.
Mudah-mudahan beberapa ‘kecelakaan sejarah’ yang diungkapkan oleh Effendi bisa membawa perbaikan terhadap proses demokratisasi di Indonesia dalam menuju kematangan secara substansi. Mari kita menatap 2009 dengan rasa optimisme yang tinggi, semoga ada titik cahaya terang di ujung sana.
Penulis adalah mantan ketua KSM Universitas Nasional dan kontributor di Perspektif[dot]net
Tags: 2008, demokrasi, Gus Dur, Indonesia, krisis, pluralisme
Leave a Reply